Beranda | Artikel
3 Solusi Syari Praktik Dropshipping
Rabu, 29 Juli 2020

Apa itu Dropshipping?

Secara teknis, dropshipping merupakan proses pengiriman produk secara langsung ke pelanggan Anda dari pemasok yang merupakan pihak ketiga. Proses ini dilakukan tanpa perantara lainnya semacam menyimpan produk terlebih dahulu di lokasi tertentu milik Anda. Pada praktik dropshipping, pihak penjual tidak melakukan kegiatan stok produk, dan penjual juga tidak juga ikut serta dalam proses pengiriman produknya ke pelanggan. Penjual hanya meneruskan pesanan dari pihak pembeli ke pihak supplier-nya. Pihak supplier inilah yang akan mengirim produk tersebut ke pihak pembeli atas nama penjual.

Baca Juga: Hukum Jual Beli ketika Shalat Jumat

Hukum Praktik Dropshipping

Dropshipping pada hakikatnya adalah menjual produk yang bukan miliknya, dimana seseorang menawarkan produk milik suplier, misalnya, pada suatu web toko online. Apabila ada pengunjung toko online yang memesan produk tersebut, barulah pemilik web tersebut membelinya dari suplier. Penjual, dalam hal ini pemilik web, memperoleh keuntungan dari margin yang ada.

Dropshipping merupakan praktik menjual barang yang tidak dimiliki, sehingga praktik tersebut tidak memenuhi kriteria keabsahan suatu akad. Syaikh Khalid al-Musyaiqih menyatakan bahwa salah satu kriteria suatu akad dapat dinyatakan sah adalah pihak yang berakad adalah pemilik obyek akad (uang dan barang). [Qawa’id al-‘Aqd hlm. 17]

Dengan demikian praktik ini dilarang, karena: 

  1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang menjual barang yang tidak dimiliki. Dalam hadits Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu, beliau menyampaikan,

أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَأْتِينِي الرَّجُلُ يَسْأَلُنِي مِنْ الْبَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدِي أَبْتَاعُ لَهُ مِنْ السُّوقِ ثُمَّ أَبِيعُهُ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Aku datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku bertanya, ‘Ada seorang laki-laki yang datang kepadaku dan memintaku untuk menjual sesuatu yang tidak ada padaku, bolehkah aku membeli untuknya dari pasar kemudian aku menjual kepadanya?’ Beliau menjawab, ‘Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” [HR. Ahmad: 15311; Abu Dawud: 3503; at-Tirmidzi: 1232; an-Nasaa-i: 4613; Ibnu Majah: 2187. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam al-Irwa: 1292]

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

“Barangsiapa membeli makanan, hendaknya ia tidak menjualnya kembali sampai ia memilikinya.” Ibnu Abbas berkata, ‘Saya menganggap semua barang seperti halnya makanan’.” [HR. al-Bukhari : 2135 dan Muslim : 1525]

Terdapat unsur penipuan kepada pelanggan dalam praktik dropshipping ini karena mengesankan penjual memiliki barang, tapi sebenarnya ia tidak memilikinya.

3 Solusi Syar’i Praktik Dropshipping

Baca Juga: Transaksi Jual Beli Hutang Dengan Hutang

Bagaimana solusi agar praktik ini sesuai dengan ketentuan agama? Pelaku dropshipping (dropshipper) bisa menempuh 3 cara berikut:

1. Dropshipper menjadi wakil suplier, dimana ia mengadakan kesepakatan dengan suplier untuk menjualkan barang suplier dengan imbal balik komisi dari suplier. Dalam kondisi harga jual ditentukan oleh suplier, maka dropshipper tidak diperkenankan menaikkan harga jual barang. Namun apabila suplier mengizinkan untuk menaikkan harga jual, maka dropshipper boleh menaikkan harga jual dan mengambil untung lebih dari margin yang ada. [Mutajir Dropshipping al-Iliktruniyah]

Dr. Khalid al-Musyaiqih menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menjadikan barang yang tidak dimilikinya sebagai obyek akad, baik akad itu berupa jual-beli, sewa-menyewa, syirkah, hibah, dan lain-lain. Namun ketentuan ini dikecualikan dari akad salam dan transaksi fudhuli (at-tasharruf al-fudhuli). Secara khusus, transaksi fudhuli berarti,

تصرف في حق الغير بغير إذن شرعي، أو ولاية

“Mentransaksikan hak orang lain, tanpa izin secara syar’i atau perwalian.” [Al-Bahr ar-Raiq, 6/160] 

Dalam hal jual-beli, transaksi fudhuli ini dinilai sah dan berlaku akibat hukumnya apabila pemilik barang menyetujui transaksi yang telah dilakukan. [Qawa’id al-‘Aqd hlm. 17]

Dari Urwah al-Bariqi radhiyallahu ‘anhu, beliau menyampaikan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor kambing, dengan uang itu ia beli dua ekor kambing, kemudian salah satunya dijual seharga satu dinar, lalu dia menemui beliau dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. Maka beliau mendoa’akannya keberkahan dalam jual belinya itu. Sungguh apabila dia berdagang debu sekalipun, pasti mendapatkan untung.” [HR. al-Bukhari: 3474]

Pada hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selaku pemilik barang, memberikan persetujuan atas transaksi tanpa izin yang dilakukan oleh Urwah. Hal ini merupakan dalil bahwa dropshipper diperkenankan mengambil keuntungan lebih apabila suplier menyetujui.

2. Dropshipper menjadi wakil pelanggan, dimana dropshipper bersepakat dengan pelanggan untuk membelikan barang tertentu dengan imbal balik berupa komisi. Dalam kondisi ini, apabila telah menemukan barang yang dicari, dropshipper tidak diperkenankan menambah harga beli. Dengan demikian, ia hanya boleh menyerahkan barang kepada pelanggan dengan harga beli yang sama dan hanya berhak atas komisi yang sudah disepakati bersama.

3. Dropshipper tidak menjadi wakil bagi suplier maupun pelanggan. Dalam kondisi ini, apabila diminta untuk mencarikan barang dengan deskripsi tertentu, dropshipper membeli barang yang dimaksud dari suplier kemudian barang dikirimkan ke alamat dropshipper sehingga barang berada dalam penguasaannya. Selanjutnya, barulah barang dikirimkan ke alamat pelanggan.

Dalam kasus ini, dropshipper dapat meminta uang muka (’urbun) dari pelanggan sebelum membeli barang dari suplier untuk menjamin kesungguhan pelanggan. Besaran uang muka ini menjadi amanah bagi dropshipper. Dalam hal pelanggan tidak jadi melakukan pembelian, maka dropshipper boleh mengambil uang muka tersebut sekadar kerugian yang diderita. Apabila ternyata tidak ada kerugian yang terjadi atas pembatalan tersebut, maka dropshipper berkewajiban mengembalikan seluruh uang muka kepada pelanggan. 

Demikian uraian singkat ini. Semoga bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam.

Baca Juga:

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.


Artikel asli: https://muslim.or.id/57776-3-solusi-syari-praktik-dropshipping.html